Sebelumnya saya sempat bertanya-tanya siapa atau apa Figaro yang memberikan endors dengan begitu pasnya terhadap autobiografi ini. Setelah melakukan googling, dan bertemu dengan tante Wiki [liat di http://en.wikipedia.org/wiki/Figaro], saya menemukan beberapa “pengguna” nama ini, mulai dari judul lagu yang dipopulerkan Brotherhood of Man—sapa neh??--nama kerajaan dalam video game Final Fantasy VI sampai nama tokoh anak kucing teman Pinokio hasil ciptaan Walt Disney. Dari sekian “pengguna”, hanya satu yang paling berpotensi memberi endors dalam buku ini—karena akan sangat aneh jika anak kucing sampai memberikan endors. Figaro, nama pena dari penulis Spanyol bernama Mariano José de Larra, tetapi kemungkinan tersebut harus segera tersisih setelah membaca bahwa dia telah meninggal 1837. Well, akhirnya, setelah berseluncur ke mana-mana, hasil buruanku berujung pada Jay Heinrichs seorang penulis dan editor dengan segudang pengalaman yang membuat endors-nya memang layak dipampang di sampul depan sebuah buku [liat di http://www.figarospeech.com/whos-figaro/]. Dan semoga benar adanya, Figaro yang saya cari adalah dia, supaya kepala dapat terpuaskan.
Kalau saya cukup puas dengan perburuanku atas Figaro, tidak sama halnya dengan Suad Amiry yang terus memburu Israel lewat sindirannya yang sangat tajam.
Bajingan, kataku dalam hati. Begitu mudahnya tersinggung oleh sebuah tatapan!
Aku heran bagaimana reaksimu jika hidup di bawah Pendudukan selama bertahun-tahun…., atau jika hak belanjamu, seperti semua hak-hakmu diganggu…., atau pohon-pohon zaitun di perkebunan milik kakekmu ditumbangkan, atau desamu diratakan, atau jika rumahmu dihancurkan…, atau jika ibumu melahirkan di pos pemeriksaan…, atau jika kau tidak bisa menjangkau orang yang kau kasihi di Yerusalem di sebelah Arab bagian Timur.
Hanya sebuah tatapan, dan kalian kehilangan kesabaran! [hal 49-50]
Sengketa di Jalur Gaza memang ironi yang sangat menyedihkan. Tanpa berputar-putar dengan teori, perempuan lulusan arsitektur ini mengkritik dengan cerdas kearoganan Israel lewat kejelian matanya menangkap setiap detail keseharian dan lingkungannya. Dengan gaya blak-blakan, cuek, lugas dan satire yang cukup kejam, buku yang bersumber dari diary dan email ini menceritakan tentang kondisi Ramallah yang sudah tak patut disebut sebagai kota, tentang kegilaan saat harus berlomba-lomba sampai di rumah sebelum jam malam tiba, tentang antrian panjang demi mendapatkan ijin kerja, kunjungan atau perjalanan, tentang ujung senapan tentara Israel yang siap menghancurkan kepala siapapun, tentang kepedihannya atas negeri tercintanya yang telah dirampas paksa.
Pun dengan sinisnya penulis yang juga direktur RIWAQ—Pusat Konservasi Arsitektur di Ramallah--menyindir bagaimana orang Palestina membutuhkan puluhan tahun untuk mendapatkan hawiyyeh (kartu penduduk) sedangkan seekor anjing bisa memperoleh paspor hanya dalam sehari demi mendapatkan suntikan vaksin rabies.
“Tidak, tembok bodoh ini tidak ada kaitannya dengan keamanan Israel. Perhatikanlah. Tembok ini tidak memisahkan orang Palestina dan Israel, malah justru memisahkan orang Palestina dan negeri Palestina…..Ini adalah perampasan tanah dan air terbesar dalam sejarah Israel. Sementara mengklaim untuk memisahkan diri dari kami, mereka telah mengambil tanah kami hingga 55%. Kalian menyebut ini keamanan?” Aku sadar sedang meneriaki Bob Simon. Aku rasa dia menyesal telah memilih seorang perempuan setengah baya yang sudah menopause untuk berbicara soal “Pemisahan” [hal 139]
Judul Buku : Palestina Dalam Cengkraman Ariel Sharon
Penulis: Suad Amiry
Alih Bahasa: James Dumai
Penerbit: e-Nusantara
Terbit: Pertama, September 2008
Tebal Buku: 144 halaman
ISBN: 9791583692
Harga: Rp. 35.000 [sebelum diskon 15%]
0 comments:
Post a Comment